
Ketua Umum LPPEI, James E Simorangkir (kanan)
Pro dan Kontra, Ketua Umum LPPEI Serukan Dialog antara Masyarakat, Gereja, dan TPL
- By Admin --
- Saturday, 31 May, 2025
KOPERZONE - Sejak pernyataan dan seruan Ephorus HKBP bersama pemimpin keumatan gereja-gereja lainnya untuk menutup TPL, memicu terjadinya publik dan munculnya pro kontra di kalangan masyarakat kawasan Tapanuli atau Tano Batak. Ada yang mendukung, ada yang menolak bahkan skeptis dengan layanan itu.
James E Simorangkir, Ketua Umum Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ekspresi Iman (LPPEI) menjelaskan bahwa seruan itu merupakan pengulangan seruan yang pernah dirilis 22 tahun lalu namun tak menghasilkan penutupan. Apalagi kata James TPL tetap berproduksi secara eksis.
"Pertanyaan bagi kita, apa persoalan mendasar dari seruan itu? Dari poin-poin seruan itu, dominan pada persoalan ekologi dan lingkungan. Menyangkut pengelolaan dampak atau akibatnya. Intinya, diberitakan ada kerusakan alam akibat Hutan Tanaman Industri TPL. Di sisi lain, kita membaca data penilaian berbagai lembaga Internasional yang secara independen melakukan kajian menyeluruh tentang kondisi ekologi dengan operasional TPL," ungkap James E Simorangkir, dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (31/5/2025).
Masalahnya sekarang, lanjut dia industri TPL telah menjalankan operasionalnya puluhan tahun di Kawasan Tano Batak dan telah menorehkan sejarah panjang yang mengandung hal positif dan negatif. Baik berupa tersedianya lapangan kerja dan peningkatan ekonomi di kawasan ini.
Namun di sisi lain ada beberapa peristiwa yang dianggap sebagai pelanggaran HAM dengan terusirnya banyak masyarakat dari tanahnya sendiri bahkan terjadi kriminalisasi, dan dianggap merusak alam. Dalam hal ini, kordinat konsesi hutan yang diberikan pemerintah pusat ada kesalahan yang memasukkan tanah ulayat dalam konsesi. Ini perlu diperbaiki, katanya.
“Tetapi kita perlu secara cerdas menyikapi kondisi ini, misalnya Gereja-Gereja yang sepanjang tutup tidak hanya mengedepankan perasaan saja tetapi juga memaparkan data-data akurat yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga sampai pada kesimpulan bahwa Industri ini apakah sudah menjadi ' Kutukan '?,” imbuh James.
“Atau juga kita harus jujur mendengarkan kepada ahli lain data-data yang bisa disimpulkan bahwa Industri menjadi 'Berkat' bagi semua orang,” sambungnya.
Menurut James, nilai keadilan dan kesejahteraan bagi semua menjadi penting. Karena paradigma pengelolaan lingkungan sekarang sudah berubah, harus dikelola sebab bukan mengelola akibat.
“Karena itu saya mengusulkan, sebaiknya ada forum bersama, duduk bersama pimpinan Gereja-Gereja bersama pemilik atau Direksi TPL membicarakan hal yang diserukan itu. Tapi juga Gereja-Gereja memberi kesempatan bagi Pemilik Industri menjelaskan dan bila perlu mendengar pengakuan dosanya,” tegas James.
“Kita mengedepankan dialog agar penyelesaian buka atau tutup TPL tidak menimbulkan masalah sosial yang rawan ke depan di tengah masyarakat,” pungkas James. (ZS)***