KOPERZONE - Sebagai lembaga yang bertugas untuk menerima dan menarik uang dari sektor pajak, keberadaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tentu rentan disalahgunakan oleh oknum-oknum pegawai pajak untuk melakukan kejahatan tindak pidana korupsi. Buktinya beberapa mantan pegawai pajak terpaksa harus mendekam di jeruji besi akibat tindakan tersebut.
Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Mohamad Haniv selaku Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Provinsi Banten (2011), Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus (2015 – 2018), sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi.
Hal yang menjerat Haniv oleh KPK yaitu berupa penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Dalam konstruksi perkaranya, pada Desember 2016 Haniv diduga telah menggunakan pengaruh dan koneksinya untuk kepentingan dirinya dan usaha anaknya.
Haniv meminta YD selaku Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing 3 untuk dicarikan sponsorship usaha anaknya. Pada rentang waktu 2016 s.d. 2017 seluruh penerimaan gratifikasi berupa sponsorship tersebut sebesar Rp804 juta.
Penerimaan berasal dari perusahaan dan perorangan, baik yang merupakan Wajib Pajak (WP) di wilayah Kanwil DJP Jakarta Khusus maupun WP wilayah lainnya.
Selain itu, pada periode waktu 2014 s.d 2022, HNV diduga menerima sejumlah uang dalam bentuk valas Dollar Amerika dari beberapa pihak melalui BSA sebagai perantara.
Penerimaan tersebut ditempatkan pada deposito dengan menggunakan nama pihak lainnya, yang selanjutnya dilakukan pencairan ke rekening HNV sejumlah Rp 14 miliar.
Kemudian pada periode 2013 - 2018, HNV juga diduga melakukan transaksi keuangan pada rekening-rekening miliknya melalui perusahaan valuta asing dan pihak lainnya sejumlah Rp6.6 miliar. Sehingga total penerimaan sekurang-kurangnya Rp21,5 miliar.
Atas perbuatannya, tersangka HNV diduga telah melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tingkat Kepercayaan Masyarakat Kepada Otoritas Pajak Menurun
Dikutip dari kontan.co.id, pada Selasa (22/4/2025) pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak kasus korupsi di sektor pajak terhadap tingkat kepercayaan masyarakat kepada Otoritas Pajak.
Fajry menilai, jika kasus ini menyebabkan penurunan kepatuhan wajib pajak, maka otoritas pajak akan mengalami kesulitan dalam meningkatkan kepatuhan sukarela atau voluntary compliance.
Menurutnya, kepatuhan sukarela ini penting. Hal ini dikarenakan Otoritas Pajak di berbagai dunia bergantung pada kepatuhan sukarela.
Bahwa kepatuhan pajak, katanya tidak hanya sebatas kepatuhan formal, seperti melaporkan Surat Pemberitahuan(SPT) Tahunan, tetapi juga kepatuhan material.
Artinya, wajib pajak tidak hanya sekadar melaporkan SPT, tetapi juga memberikan informasi yang benar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perpajakan.
Selain faktor kepercayaan terhadap otoritas pajak, Fajry juga menyoroti keterkaitan antara kondisi ekonomi, dunia usaha, dan ketenagakerjaan dengan tingkat kepatuhan formal dalam lima tahun terakhir.
Dia melihat ketika kondisi ekonomi dan dunia usaha melemah, tingkat kepatuhan formal juga mengalami penurunan, terutama bagi wajib pajak orang pribadi non-karyawan.
Menurunnya kepatuhan formal ini lebih dikarenakan meningkatnya jumlah wajib pajak yang seharusnya berstatus NE (non efektif), baik badan maupun orang pribadi.
Fajry menambahkan pada tahun 2024, pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Di sisi lain, isu PHK juga menjadi sorotan sepanjang tahun tersebut. Kondisi ini berpotensi memperburuk tingkat kepatuhan formal, yang pada akhirnya dapat berdampak pada penerimaan pajak.
Masih Banyak Oknum Pegawai Pajak yang Nakal
Mantan Ketua Mahmakah Konsitusi (MK) Moh. Mahfud MD mengatakan tindakan hukum dan pelanggaran hukum yang menyebabkan kerugian negara yang dilakukan oleh oknum pegawai pajak membuktikan kualitas kinerja pegawai pajak belum maksimal.
Dia mengingatkan kualitas kinerja pegawai pajak harus ditingkatkan untuk menghindari godaan korupsi.
Sejauh ini, lanjutnya, serangkaian aturan pajak yang ada di Indonesia sudah baik. Hanya saja, aturan tersebut tidak dijalankan oleh oknum-oknum pegawai pajak yang tidak jujur.
Jika dilihat dari kasus-kasus dan perkara pajak yang diajukan ke pengadilan, kata Mahfud, masih banyak oknum pegawai pajak yang nakal.
Terkadang, Wajib Pajak (WP) berusaha jujur membayar pajak, namun oknum pegawai pajak justru memberikan rayuan dan mefasilitasi agar WP bisa membayar pajak dengan nilai yang lebih kecil dari yang seharusnya.
Hal yang bisa dilakukan DJP adalah memperketat pengawasan kepada para pegawai pajak agar upaya pelanggaran hukum sulit untuk dilakukan, dan penerimaan pajak bisa tercapai sesuai potensinya. Mahfud juga menilai DJP tidak memerlukan UU baru untuk optimalisasi pajak.
Tax Ratio Rendah, Karena Dikorupsi?
Pada tahun 2023 lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia (Menkopolhukam), Mahfud MD periode 2019-2024 menyinggung soal kasus korupsi pajak. “Saudara bayangkan kalau rasio pajak kita dari 11 persen jadi 15 persen saja kita udah cukup mengurangi jumlah orang miskin”.
Dia kemudian menambahkan penyebab dari rendahnya rasio pajak. “Kenapa rasio pajak kita rendah? Karena ada korupsi".
Klaim korupsi pajak itu diungkapkan Mahfud berdasarkan pengalamannya pada akhir Maret 2023 lalu. Dirinya yang juga menjabat Ketua Komite Koordinasi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU membongkar aliran transaksi janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp 349 triliun.
Hal itu disampaikan Mahfud dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi III DPR pada Rabu, 29 Maret 2023. Mahfud membeberkan transaksi mencurigakan yang terjadi pada 2009-2023 tersebut satu per satu.
Dalam paparannya, Mahfud setidaknya mengungkapkan ada tujuh model yang diduga digunakan dalam transaksi janggal keuangan tersebut sebagai berikut.
1. Kepemilikan saham pada perusahaan atas nama keluarga. Mahfud mencontohkan modus ini ditemukan dalam kasus pejabat pajak, Rafael Alun Trisambodo. “Dia laporannya sedikit, rekeningnya sedikit. Tapi istrinya, anaknya, perusahaannya, itu patut dicurigai,” kata Mahfud.
2. Kepemilikan aset berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang diatasnamakan pihak lain atau disimpan di tempat lain.
3. Membentuk perusahaan untuk mengelola hasil kejahatan sebagai upaya agar keuntungan perusahaan itu dianggap sah.
4. Penerimaan hibah barang tidak bergerak hasil kejahatan tanpa dilengkapi dengan akta hibah. “Misalnya saya disuap Rp 5 miliar, dikirim ke ayah saya, lalu ayah saya disuruh bikin hibah,” kata Mahfud.
5. Menggunakan rekening atas nama orang lain untuk menyimpan hasil kejahatan.
6. Transaksi pembelian barang fiktif. Menurut Mahfud transaksi tersebut dilakukan dengan membayar tetapi barangnya tidak dikirimkan.
7. Menyimpan harta hasil kejahatan dalam safe deposit box atau tempat lainnya. ***